Beliau
adalah ‘Utsman bin Affan bin Abil ‘Ash bin Umayyah bin Abdisy-Syams bin Abdi
Manaf. Pada kakeknya, Abdu Manaf, nasabnya bertemu dengan nasab Rasulullah.
Lahir enam tahun setelah tahun gajah. Beriman melalui tangan Abu Bakr
Ash-Shiddiq –Abdullah bin Abi Quhafah–, dan termasuk as-sabiqunal awwalun.
Tampan wajahnya, lembut kulitnya, dan lebat jenggotnya. Sosok sahabat mulia ini
sangat pemalu hingga malaikat pun malu kepadanya. Demikian Rasulullah
menyanjung:
“Tidakkah sepatutnya aku malu kepada seorang (yakni Utsman) yang para malaikat
malu kepadanya?”
Mudah menangis kala mengingat akhirat. Jiwanya khusyu’ dan penuh tawadhu’ di
hadapan Allah Rabbul ‘alamin.
Beliau adalah menantu Rasulullah yang sangat dikasihi. Memperoleh kemuliaan
dengan menikahi dua putri Nabi, Ruqayyah kemudian Ummu Kultsum hingga mendapat
julukan Dzunurain(pemilik dua cahaya). Bahkan Rasulullah bersabda: “Seandainya
aku masih memiliki putri yang lain sungguh akan kunikahkan dia dengan Utsman.”
Utsman bin ‘Affan adalah figur sahabat yang memiliki kedermawanan luar biasa.
Sebelum datangnya risalah Nabi Muhammad, beliau telah menekuni perdagangan
hingga memiliki kekayaan. Setelah cahaya Islam terpancar di muka bumi, harta
tersebut beliau infakkan untuk menegakkan kalimat Allah.
Sumur Ar-Rumah
Tahukah Anda, apa itu sumur Ar-Rumah? Sumber air Madinah yang beliau beli
dengan harga sangat mahal sebagai wakaf untuk muslimin di saat mereka kehausan
dan membutuhkan tetes-tetes air. Rasulullah menawarkan jannah bagi siapa yang
membelinya. Utsman pun bersegera meraih janji itu. Demi Allah! Beliau telah
meraih jannah yang dijanjikan.
Sosok yang mulia ini, tidak pernah berat untuk berinfak di jalan Allah,
berapapun besarnya harta yang diinfakkan. Beliau keluarkan seribu dinar (emas)
guna menyiapkan Jaisyul ‘Usrah, pasukan perang ke Tabuk, yang berjumlah tidak
kurang dari 30.000 pasukan. Seraya membolak-balikan emas yang Utsman infakkan,
Rasulullah bersabda:
“Tidaklah membahayakan bagi Utsman apapun yang dia lakukan sesudah hari ini.”
(Karena sesungguhnya dia telah diampuni)
Allahu Akbar! Betapa indah sabda Rasulullah mengiringi pengorbanan Utsman bin
Affan. Allah l terima infak itu, Allah l pelihara dengan tangan kanan-Nya yang
mulia dan Dia lipat gandakan pahala untuknya.
Di antara keutamaan ‘Utsman bin ‘Affan, Allah jamin jannah atasnya bersama
sembilan orang lainnya. Rasulullah bersabda:
“… Dan ‘Utsman di jannah….” (Al-Hadits)
Sebagian kecil keutamaan di atas cukup sebagai dalil yang muhkam –pasti– atas
keutamaan Utsman bin ‘Affan. Di atas keyakinan inilah Ahlus Sunnah wal Jama’ah
beragama.
Fitnah itu akan terjadi
Wafatnya Umar bin Al-Khaththab adalah awal kemunculan fitnah. Umar adalah pintu
yang menutup fitnah. Begitu pintu dipatahkan, gelombang fitnah akan terus
menimpa umat ini, sebagaimana ditunjukkan dalam hadits Hudzaifah bin Al-Yaman
dalam Shahihain.
Pernahkah terbayang bahwa Utsman akan dibunuh dalam keadaan terzalimi? Mungkin
kita tidak membayangkannya. Tetapi demi Allah, Utsman bin Affan telah
mengetahui dirinya akan terbunuh, dengan kabar yang diperolehnya dari kekasih
Allah, Nabi Muhammad.
Ahmad bin Hanbal dalam Musnad-nya meriwayatkan dari Abdullah bin Umar, beliau
berkata:
“Rasulullah pernah menyebutkan sebuah fitnah, lalu lewatlah seseorang. Beliau
bersabda: “Pada fitnah itu, orang yang bertutup kepala ini akan terbunuh.”
Berkata Ibnu ‘Umar:” Akupun melihat (orang itu), ternyata ia adalah ‘Utsman bin
‘Affan.”
Segala yang terjadi di muka bumi ini telah Allah tetapkan dan catat dalam
Lauhul Mahfuzh. Sebagian dari takdir, Allah beritahukan kepada Rasul-Nya,
termasuk berita terbunuhnya ‘Utsman bin ‘Affan dalam keadaan syahid. Utsman
menunggu saat-saat itu dengan penuh ridha dan keyakinan.
Rasulullah mengiringi berita tersebut dengan wasiat tentang apa yang harus
dilakukan saat fitnah menerpa, sebagaimana akan kita lalui bersama sebagian
riwayat tersebut. Maka berjalanlah Utsman dalam menghadapi fitnah tersebut
dengan memegang teguh wasiat Rasulullah.
Abdullah bin Saba’ di balik wafatnya Utsman bin Affan
Abdullah bin Saba’ atau Ibnu As-Sauda’ adalah seorang Yahudi yang menampakkan
keislaman di masa ‘Utsman bin ‘Affan. Dia muncul di tengah-tengah muslimin
dengan membawa makar yang sangat membahayakan, menebar bara fitnah untuk
memecah-belah barisan kaum muslimin.
Tidak mudah memang bagi Ibnu Saba’ menyalakan api di tengah kejayaan Islam, di
tengah kekuasaan Islam yang telah meluas ke seluruh penjuru timur dan barat, di
saat muslimin memiliki kewibawaan di mata musuh-musuhnya kala itu. Namun setan
tak pernah henti mengajak manusia menuju jalan-jalan kesesatan, sebagaimana
Iblis telah berkata di hadapan Allah:
Iblis menjawab: “Karena Engkau telah menghukum saya tersesat, saya benar-benar
akan (menghalang-halangi) mereka dari jalan Engkau yang lurus, kemudian saya
akan mendatangi mereka dari muka dan dari belakang mereka, dari kanan dan dari
kiri mereka. Dan Engkau tidak akan mendapati kebanyakan mereka bersyukur
(taat).” (Al-A’raf: 16-17)
Ibnu Saba’ memulai makarnya bersama para pendukungnya dengan menanamkan
kebencian pada khalifah ‘Utsman bin Affan di tengah kaum yang dungu lagi bodoh.
Tujuannya pasti: Memudarkan kemulian-kemuliaan ‘Utsman bin Affan di hadapan
manusia dan menjatuhkan kewibawaan khalifah.
Kenapa orang-orang bodoh yang dituju? Karena mereka itulah kaum yang tidak
mengerti siapa Utsman. Mereka pula kelompok yang mudah disetir hawa nafsunya.
Demikianlah gaya dan model pemberontak. Sebelum menggulingkan penguasa, mereka
sebarkan kejelekan di tengah orang-orang bodoh, membuat arus bawah yang sukar
untuk dibendung.
Kaki Ibnu Sauda’ yang penuh kebengisan dan kedengkian pada syariat Allah
menjelajah negeri. Fitnahnya dia mulai dari Hijaz; Makkah, Madinah, Thaif, lalu
Bashrah, lalu Kufah. Kemudian masuklah ia ke wilayah Damaskus (Syam). Usaha
demi usaha dia tempuh di sana, namun impian belum mampu ia wujudkan. Dia tidak
kuasa menyalakan api kebencian terhadap khalifah ‘Utsman di tengah-tengah kaum
muslimin di negeri-negeri tersebut, hingga penduduk Syam mengusirnya.
Dengan segala kebusukan, pergilah Ibnu Saba’ ke Mesir. Di sanalah dia dapatkan
tempat berdiam. Di tempat baru inilah dia dapatkan lahan subur untuk membangun
makar besarnya, menggulingkan khalifah Utsman dan merusak agama Islam.
Mulai Ibnu Saba’ leluasa menghubungi munafiqin dan orang-orang yang
berpenyakit, hingga terkumpul massa dari penduduk Mesir dan Irak guna membantu
makarnya. Bersama pembantu-pembantunya, dia sebarkan keyakinan-keyakinan
menyimpang serta tuduhan-tuduhan dusta atas khalifah di tengah-tengah kaum yang
bodoh lagi menyimpan kemunafikan. Hingga suatu saat nanti, terwujudlah
cita-citanya: menumpahkan darah khalifah dan memecah-belah barisan muslimin.
Syubhat-syubhat Ibnu Saba’ untuk menjatuhkan kehormatan Utsman bin Affan
Mereka yang mengetahui kemuliaan Utsman dari sabda Rasulullah tidak akan
terpengaruh hasutan Ibnu Saba’, sehingga tidaklah mengherankan kalau dia tidak
berhasil melakukan makarnya di tengah-tengah ahli Madinah atau Makkah. Berbeda
keadaannya di Mesir, ia berhasil menebar syubhat-syubhat berisi celaan kepada
Utsman bin ‘Affan, yang seandainya diketahui hakikatnya justru merupakan
keutamaan dan pujian atas Utsman bin Affan. Namun ketika gelombang fitnah telah
menggulung dan sabda Rasulullah tidak lagi dihiraukan, banyak di antara juhhal
(orang-orang bodoh) berjatuhan menjadi korban.
Pada kesempatan yang sangat terbatas ini, kita cukupkan dua syubhat beserta
jawabannya sebagai gambaran atas kebodohan dan jauhnya kaum pemberontak dari
ilmu.
Syubhat pertama: ‘Utsman tidak mengikuti perang Badr. Ini merupakan aib (cela)
bagi Utsman, maka tidak pantas ia menjadi khalifah.
Utsman bin Affan memang tidak mengikuti perang Badr, Ramadhan 2 H. Akan tetapi
tidak ikutnya beliau dalam perang Badr bukanlah aib sebagaimana sahabat-sahabat
lain yang tidak mengikutinya juga tidak mendapat celaan. Karena pada perang
Badr Rasulullah tidak mengharuskan sahabat untuk menyertai beliau. Terlebih
lagi jika kita mengetahui sebab tidak ikutnya Utsman dalam perang Badr.
Dalam perang Badr, Rasulullah memerintahkan Utsman untuk tetap di rumah merawat
istrinya, Ruqayyah, yang merupakan putri Rasulullah. Maka jawablah dengan
jujur: “Pantaskah seorang yang melaksanakan perintah Rasul kemudian dicela
dengan sebab itu?”
Bahkan sebaliknya, dengan melaksanakan perintah Rasul beliau mendapat keutamaan
taat di samping beliau juga mendapatkan keutamaan ahlu Badr dan pahala mereka.
Oleh karena itu, Rasulullah mengikutsertakan Utsman dalam ghanimah Badr.
Suatu saat, seorang Khawarij bertanya kepada Abdullah bin ‘Umar di Masjidil
Haram: “Wahai Ibnu ‘Umar, apakah ‘Utsman mengikuti perang Badr?” Ibnu ‘Umar
menjawab: “Tidak.” Maka dengan girangnya dia berseru: “Allahu Akbar!”
–seolah-olah dia dapatkan kebenaran celaan atas Utsman bin ‘Affan–. Dengan
segera Ibnu ‘Umar berkata kepadanya: “Adapun ketidakhadiran Utsman dalam perang
Badr karena putri Rasulullah –istrinya– sakit, (Rasul perintahkan untuk
merawatnya) dan beliau bersabda:
“Sesungguhnya bagimu pahala mereka yang mengikuti perang Badr dan bagimu pula
bagian ghanimah.”
Atas dasar ini, ulama tarikh seperti Az-Zuhri, ‘Urwah bin Az-Zubair, Musa bin
‘Uqbah, Ibnu Ishaq, dan lainnya memasukkan Utsman bin Affan dalam barisan ahlu
Badr (orang-orang yang mengikuti perang Badr).
Syubhat kedua: Utsman membuat ladang khusus untuk unta-unta sedekah. Ladang
tersebut terlarang untuk selain unta sedekah. Kaum Khawarij menuduh perbuatan
ini sebagai kezaliman, kebid’ahan, dan kedustaan atas nama Allah.
Ketika ahlu Mesir –para pemberontak– mendatangi Utsman bin Affan mereka
berkata: “Bukalah surat Yunus dan bacalah.” Lalu mereka hentikan bacaan Utsman
ketika sampai pada ayat:
Katakanlah: “Terangkanlah kepadaku tentang rezeki yang diturunkan Allah
kepadamu, lalu kamu jadikan sebagiannya haram dan (sebagiannya) halal.”
Katakanlah: “Apakah Allah telah memberikan izin kepadamu (tentang ini) atau
kamu mengada-adakan saja terhadap Allah?” (Yunus: 59)
Mereka berkata: “Berhenti kamu! Lihatlah apa yang telah kau perbuat. Engkau
membuat tanah terlarang yang dibatasi. Apakah Allah telah memberikan izin
kepadamu (tentang ini) atau kamu mengada-adakan saja terhadap Allah l? ”
Utsman menjawab: “Bukan dalam masalah tersebut ayat ini diturunkan! Sungguh
Umar bin Al-Khaththab telah melakukannya sebelumku, membatasi tanah khusus
untuk unta-unta zakat, lalu aku menambahnya karena unta sedekah semakin
bertambah banyak.”
Bantahan Utsman ibarat batu yang dilemparkan ke dalam mulut-mulut pemberontak.
Mereka tidak mampu membalas jawaban Utsman karena ternyata beliau tidak melakukan
kebid’ahan. Bahkan hal itu telah dilakukan Nabi dan Umar bin Al-Khaththab
sebelumnya, yang semua itu tidak lain untuk kepentingan kaum muslimin, menjaga
unta-unta zakat.
Ahlu Mesir dan Irak terprovokasi untuk memberontak Khalifah
Massa yang besar dari penduduk Mesir dan Irak terkumpul, terbawa arus syubhat
Ibnu Saba’. Mereka menuju Madinah dalam keadaan membenci khalifah, bahkan
bertekad menggulingkan kekhilafahannya karena menurut mereka khalifah telah
berkhianat.
Dalam perjalanan menuju Madinah, mereka mendengar bahwa Utsman bin ‘Affan
berada di luar Madinah, maka mereka bersegera menemui ‘Utsman bin ‘Affan, di
awal-awal bulan Dzulqa’dah 35 H.
Dengan penuh kearifan, keteduhan, dan kasih sayang, Utsman menemui mereka, dan
terjadilah dialog ilmiah, membantah syubhat-syubhat juhhal. Dengan taufik
Allah, Utsman mendinginkan hati-hati mereka yang membara. Beliau juga membuat
kesepakatan-kesepakatan dan perdamaian yang menentramkan jiwa mereka. Mereka
pun ridha untuk kembali ke negeri mereka.
Meninggalkan Utsman dan kisah surat palsu
Masa yang tadinya penuh kebencian, merasa puas dengan jawaban-jawaban ‘Utsman
dan kesepakatan tersebut. Mereka pun pergi untuk kembali ke negeri mereka.
Kenyataan ini membuat geram para penyulut fitnah. Mereka memutar otak dan
mencari-cari jalan menyalakan kembali api kebencian yang sempat padam yang
sudah sangat lama mereka nanti. Dalam keadaan itu, segera mereka munculkan
makar berikutnya yang demikian keji, yaitu: Surat palsu berisi kedustaan atas
‘Utsman bin Affan.
Dalam perjalanan kembali ke Mesir, mereka berpapasan dengan seorang penunggang
unta. Dia menampakkan bahwa dirinya melarikan diri, seolah-olah berkata:
“Tangkaplah aku.” Mereka pun menangkapnya dan bertanya: “Ada apa dengan
engkau?” Dia katakan: “Aku utusan Amirul Mukminin kepada amir Mesir.” Segera
mereka periksa orang ini hingga didapatkan padanya sebuah surat atas nama
‘Utsman bin Affan, berisi perintah kepada amir Mesir agar menyalib, membunuh,
dan memotong-motong tangan orang-orang Mesir setibanya mereka dari Madinah.
Kembali ke Madinah melakukan pengepungan
Dengan adanya surat palsu tersebut, api kebencian kepada khalifah kembali
berkobar dalam dada-dada kaum yang bodoh. Mereka kembali menuju Madinah
kemudian mereka kepung kediaman khalifah Ar-Rasyid Utsman bin Affan. Mereka
tidak lagi memercayai ‘Utsman meskipun telah bersumpah bahwasanya beliau tidak
pernah mengetahui apalagi menulis surat tersebut.
Tahukah kita apa yang diperbuat bughat pada orang termulia di muka bumi saat
itu dan ahli jannah yang masih bernafas di dunia? Mereka paksa Utsman untuk
melepaskan kekhilafahannya. Terwujudlah apa yang disabdakan Rasulullah puluhan
tahun silam akan datangnya masa di mana Utsman bin Affan dipaksa melepas
kekhilafahan.
Dengan tanpa kasih sayang, mereka halangi Utsman untuk shalat di Masjid Nabawi
padahal beliaulah yang memperluas masjid di masa Rasulullah. Mereka halangi
Utsman untuk minum dari air segar sumur Ar-Rumah yang beliau wakafkan untuk
kaum muslimin. Caci-maki dan cercaan tertuju kepada beliau.
Seperti inikah Islam mengajarkan untuk berbuat kepada seorang sahabat mulia,
yang menghabiskan masa hidupnya untuk membela Rasulullah, meninggikan kalimat
Allah? Seperti inikah balasan kepada seorang sahabat yang matanya tak pernah
kering dari air mata karena takutnya kepada Allah? Seperti inikah Islam
mengajarkan untuk bersikap kepada seorang yang telah senja, di umurnya yang
ke-83? Itukah kasih sayang? Seperti inikah jihad? Laa haula wala quwwata illa
billah! Tidak ada yang mampu kita ucapkan melainkan: Hasbunallahu wa ni’mal
wakil.
Pembelaan sahabat
Sejatinya para sahabat hendak membela Utsman bin Affan. Bahkan banyak di antara
mereka menemani khalifah di rumahnya hingga hari terakhir pengepungan.
Riwayat-riwayat yang shahih menunjukkan kedatangan banyak sahabat mengusulkan
pembelaan dari kaum bughat. Di antara mereka adalah: Haritsah bin Nu’man,
Al-Mughirah bin Syu’bah, Abdullah bin Az-Zubair, Zaid bin Tsabit, Al-Hasan bin
‘Ali, Abu Hurairah, dan lainnya.
Namun Utsman bin Affan telah mengambil sebuah keputusan dan sikap yang
merupakan wasiat Rasulullah untuk bersabar dan tidak melepaskan kekhilafahan.
Beliau tetap kokoh memegang sunnah (wasiat) Rasulullah saat api fitnah telah
berkobar di hadapannya. Abu Hurairah sempat datang dengan pedangnya untuk melakukan
pembelaan. Namun Utsman berkata: “Wahai Abu Hurairah, sukakah engkau jika
banyak manusia terbunuh dan aku juga terbunuh? Sungguh demi Allah, seandainya
engkau membunuh seorang manusia, seakan-akan engkau membunuh manusia
seluruhnya.” Pergilah Abu Hurairah melaksanakan nasihat ‘Utsman.
Dari Rasulullah, Utsman mengetahui syahadah yang akan diperolehnya. Suatu hari
Rasulullah memanggil Utsman. Beliau bisikkan rahasia akan apa yang akan
menimpanya dan apa yang seharusnya dilakukan saat fitnah menimpa. Rahasia itu
memang tidak banyak tersingkap, melainkan beberapa yang dikabarkan Utsman bin
‘Affan di hari pengepungan.
Al-Imam Ahmad dalam Al-Musnad (6/51-52) meriwayatkan bahwa saat sahabat
menawarkan Utsman bin Affan untuk memerangi pemberontak, mereka berkata: “Wahai
Amirul Mukminin, tidakkah engkau perangi mereka?” Dengan penuh keyakinan beliau
katakan:
“Tidak (aku tidak akan perangi mereka), karena sesungguhnya Rasulullah telah
mengambil janji dariku, dan aku sabar di atas janji itu.”
Berkali-kali sahabat Rasulullah menawarkan perang melawan pemberontak. Dengan
penuh kearifan Utsman menolak, dan mengingatkan mereka untuk taat kepadanya
sebagai khalifah. Suatu ketaatan yang telah Allah perintahkan atas mereka.
Saudaraku, rahimakumullah. Sekali lagi kita ingatkan, bahwasanya keputusan
Utsman bin ‘Affan, bukanlah kelemahan beliau. Bukan pula ketidakberanian
sahabat untuk melakukan peperangan. Tetapi, semua keputusan dan sikap Utsman
sesungguhnya adalah bagian dari wasiat Rasulullah kepadanya.
Mungkin ada di antara kita bertanya, kenapa Utsman tidak melepaskan
kekhilafahan agar terhindar dari fitnah ini? Bukankah kaum pemberontak hanya
ingin menggulingkan Utsman dari kekhilafahan?
Ketahuilah, hal ini pun telah Rasulullah n wasiatkan dalam hadits yang shahih. Rasul
bersabda:
“Dan jika mereka (pemberontak) memaksamu untuk melepaskan pakaian yang Allah l
pakaikan kepadamu (yakni kekhilafahan), janganlah engkau lakukan.”
Dari riwayat-riwayat shahih terkait dengan fitnah pembunuhan Utsman bin Affan,
disimpulkan bahwa sikap yang beliau pilih sesungguhnya kembali pada beberapa
alasan. Di antaranya:
Wasiat Rasulullah kepada ‘Utsman untuk tidak melepaskan kekhilafahan dan
menghadapi fitnah dengan kesabaran.
Beliau tidak ingin menjadi orang yang pertama kali menumpahkan darah kaum
muslimin, dan menjadi penyebab peperangan di antara mereka. Sebagaimana tampak
dalam riwayat Ahmad dalam Al-Musnad, beliau berkata:
“Aku tidak ingin menjadi orang pertama sesudah Rasulullah yang menyebabkan
pertumpahan darah di tengah umatnya.”
Utsman yakin bahwa yang diinginkan pemberontak adalah dirinya, maka beliau
tidak ingin menjadikan kaum muslimin sebagai tameng. Sebaliknya, beliau ingin
menjadi tameng untuk kaum muslimin agar tidak terjadi pertumpahan darah di
tengah mereka.
Utsman yakin bahwa fitnah akan redam dengan wafatnya beliau, sebagaimana kabar
yang Rasulullah sabdakan. Beliau juga merasa waktunya telah dekat di saat
beliau berumur 83 tahun, diperkuat dengan mimpinya bertemu Rasulullah n di hari
pengepungan. Nasihat Abdullah bin Salam kepada beliau. Abdullah berkata:
“Tahanlah, tahanlah (dari peperangan) karena dengan itu hujjahmu lebih
mendalam.”
Syahadah yang Rasulullah kabarkan itu diraih Utsman bin Affan
Pagi, Jum’at 12 Dzulhijjah, 35 H, di saat sebagian besar sahabat menunaikan
ibadah haji, pengepungan berlanjut. Hari itu ‘Utsman berpuasa, setelah di malam
harinya bertemu Rasulullah, dan dua sahabatnya: Abu Bakar serta ‘Umar, dalam
mimpi yang membahagiakan. Di mimpi itu Rasulullah bersabda: “Wahai ‘Utsman,
berbukalah bersama kami.” Utsman pun terbangun dengan merasa bahagia dan
berpuasa.
Pagi itu Utsman berada di rumah bersama sejumlah sahabat yang terus bersikukuh
hendak membela beliau dari kezaliman bughat. Di antara mereka adalah Al-Hasan
bin ‘Ali, ‘Abdullah bin Umar, Abdullah bin Az-Zubair, Abdullah bin ‘Amir bin
Rabi’ah, dan sejumlah sahabat lainnya.
Dengan sangat, Utsman bin ‘Affan meminta mereka untuk keluar dari rumah,
menjauhkan diri dari fitnah. Amirul Mukminin melarang para sahabat melakukan
pembelaan dengan peperangan. Beliau tidak ingin terjadi pertumpahan darah di
tengah-tengah kaum muslimin hanya dengan sebab beliau. Beliau tidak ingin ada
sahabat-sahabat lain terbunuh dalam fitnah ini.
Setelah permintaan Utsman yang sangat kepada para sahabat, akhirnya mereka
meninggalkan rumah Amirul Mukminin hingga tidak ada yang tersisa kecuali
keluarga Utsman termasuk istri beliau, Na’ilah bintu Furafishah.
Amirul Mukminin, Utsman bin ‘Affan tetap di atas wasiat Rasul untuk tidak
melepaskan kekhilafahan, baju yang telah Allah pakaikan untuknya. Beliau pun
tetap meminta sahabat untuk tidak melakukan perlawanan, mengingat besarnya
fitnah dan khawatir darah kaum muslimin tertumpah. Inilah sikap yang terbaik:
kesabaran, keyakinan, dan keteguhan di atas petunjuk Rasulullah.
Utsman, beliau duduk bersimpuh di hadapan mushaf. Beliau membacanya dalam
keadaan berpuasa di hari itu. Tubuh yang telah tua, rambut yang telah memutih,
kulit yang telah mengeriput, usia yang telah dihabiskan untuk Allah, berjihad
menegakkan kalimat Allah di muka bumi, kini duduk mentadaburi kalam Rabbul
‘Alamin. Beliau perintahkan untuk membuka pintu rumah dengan harapan para
pengepung tidak berbuat sekehendak hati mereka ketika menyaksikan beliau
beribadah kepada Allah, membaca Al-Qur’an.
Tetapi mereka ternyata orang yang telah keras hatinya. Dalam suasana
pengepungan dan kekacauan, masuklah seseorang hendak membunuh khalifah. Orang
ini datang dan menarik jenggot Ustman. Ustman dengan tenang berkata
"Jangan
sentuh jenggotku karena sesungguhnya ayahmu dulu menghormati jenggot
ini."
Kemudian
pemberontak itu melepaskannya karena dia ingat bahwa bukan hanya ayahnya yang
menghormati, tapi juga Rasulullah S.A.W. dan setiap orang menghormati Ustman.
Utsman pun berkata mengingatkan: “Wahai fulan, di antara aku dan dirimu ada
Kitabullah!” Diapun pergi meninggalkan Utsman, hingga datang orang lain dari
bani Sadus. Dan ketika Ustman R.A. melihat nya datang, dia segera mengencangkan
tali pengikat celananya, karena dia tidak ingin auratnya terlihat di saat-saat terakhirnya.
Dengan penuh
keberingasan, dia cekik leher khalifah yang telah rapuh hingga sesak dada
beliau dan terengah-engah nafas beliau, lalu dia tebaskan pedang ke arah Utsman
bin ‘Affan. Amirul Mukminin menlindungi diri dari pedang dengan tangannya yang
mulia, hingga terputus bercucuran darah. Saat itu Utsman berkata:
“Demi Allah, tangan (yang kau potong ini) adalah tangan pertama yang mencatat
surat-surat mufashshal.”
Ya… beliau adalah pencatat wahyu Allah dari lisan Rasulullah. Namun ucapan
Utsman yang sesungguhnya nasihat –bagi orang yang memiliki hati– tidak lagi
dihiraukan. Darah mengalir pada mushaf tepat mengenai firman Allah:
“Maka Allah akan memelihara kamu dari mereka. Dan Dialah Yang Maha mendengar
lagi Maha mengetahui.” (Al-Baqarah: 137)
Kemudian istrinya, Na'ilah berlari untuk melindungi Utsman. Bukan hanya itu,
jari jemari Na’ilah bintu Furafishah terpotong saat melindungi suaminya dari
tebasan pedang kaum bughat. Subhanallah, cermin kesetiaan istri shalihah
menghiasi tragedi berdarah di negeri Rasulullah.
Kemudian
mereka menghujam dalam perut Ustman R.A. dengan pedang! Lalu salah satu
pemberontak menerjang dada Ustman R.A. dan menusuknya 6 KALI! Dengan demikian
wafatlah Ustman R.A. pada umur 83 tahun.
Terwujudlah
sabda Rasulullah puluhan tahun silam. Ketika itu, Rasulullah bersama dengan Abu
Bakr, Umar, dan Utsman di atas Uhud, tiba-tiba Uhud bergoncang. Rasul pun
bersabda:
“Diamlah wahai Uhud, yang berada di atasmu adalah seorang nabi, seorang shiddiq,
dan dua orang syahid.”
Allahu Akbar! Berbukalah Utsman bin Affan bersama Rasulullah sebagaimana
mimpinya di malam itu. Ta’bir mimpi pun tersingkap sudah. Wafatlah khalifah
Ar-Rasyid, di hari Jum’at, dalam usia 83 tahun. Pergilah manusia termulia saat
itu menemui ridha Allah dan ampunan-Nya. Menuju jannah-Nya.
Seusai pembunuhan, berteriaklah laki-laki hitam pembunuh ‘Utsman, mengangkat
dan membentangkan dua tangannya seraya berkata “Akulah yang membunuh Na’tsal! “
Beberapa
lama setelah Utsman dibunuh, para pemberontak tidak memperbolehkan seorang pun
untuk menguburkan jenazahnya. Pada akhirnya, istri Rasulullah, Umayya Habiba
menaiki tangga masjid Rasulullah dan berkata
"Wahai
pemberontak! Jika kalian tidak mengizinkan kami untuk mengubur Ustman R.A.,
maka AKU ISTRI RASULULLAH S.A.W., AKU KEHENDAK RASULULLAH S.A.W., AKU KEKASIH
RASULULLAH S.A.W., AKU IBU ORANG-ORANG BERIMAN, akan turun ke jalan Madinah
tanpa menutupi rambutku dan AKU SENDIRI yang akan menguburkan Ustman!"
Dia tahu bahwa tidak ada satu pemberontak pun yang berani terhadap istri
Rasulullah S.A.W. Ka'ab ibn Malik R.A. meriwayatkan:
"Demi
Allah, jika Umayya ibn Habiba R.A. turun ke jalanan Madinah tanpa menutupi
rambutnya, maka Allah akan MENURUNKAN HUJAN BATU DARI LANGIT!"
Dan ketika para pemberontak mendengar ancaman dari istri Rasulullah S.A.W.,
mereka membolehkan jenazah Ustman dikuburkan oleh empat orang: Hasan R.A.,
Hussain R.A., Ali R.A., dan Muhammad ibn Talha R.A. Dan ketika mereka membawa
jenazah Ustman untuk dikuburkan, para pemberontak mulai melempari batu ke
jenazah Ustman R.A.
Amrita bin
Arta meriwayatkan
"Ketika
aku dan Aisyah R.A. pulang dari berhaji, kami melihat Al-Qur'an dimana darah
Ustman terjatuh ke atasnya pada ayat 'Maka Allah akan memelihara kamu dari
mereka. Dan Dialah Yang Maha mendengar lagi Maha mengetahui.” (Al-Baqarah:
137).'
Akibat dari kematian Ustman begitu besar, sampai-sampai Hasan (cucu Rasulullah)
meriwayatkan:
"Aku
melihat kakekku (Rasulullah) di dalam mimpi, dan dia berdiri di hadapan Arsy
Allah S.W.T. Dan inilah pertama kalinya aku melihatnya dalam mimpi dimana dia
terlihat khawatir. Kemudian Abu Bakar R.A. datang dari belakangnya dan dia
menempatkan tangannya di bahu Rasulullah S.A.W. Kemudian Umar R.A. datang dari
belakangnya dan dia menempatkan tangannya di bahu Abu Bakar R.A. Tidak
lama setelahnya, Ustman R.A. datang dan wajahnya yang berlumuran darah.
Tangannya menggenggam kepalanya dan dia berkata 'Wahai Rasulullah, tanyakan
kepada mereka karena dosa apakah mereka menjagalku seperti seekor sapi?' Ketika
Ustman R.A. berkata seperti ini, Arsy Allah mulai bergetar! Kemudian dua sungai
darah mengalir dari Arsy Allah S.W.T."
Pada hari
kiamat, ada banyak orang yang gugur sebagai syuhada. Untuk para syuhada itu,
tanah tempatnya meninggal dunia akan bersaksi, namun untuk Ustman ibn Affan,
Al-Qur'an yang akan menjadi saksinya, karena dia meninggal dunia tepat di
hadapan sebuah Al-Qur'an!
Asyhadu
an-La ilaha illallah, wa anna Muhammadan Rasulullah! Sabda Rasulullah bahwa Utsman
akan meraih jannah dengan cobaan yang menimpanya benar-benar terjadi. Abu Musa
Al-Asy’ari mengatakan bahwa:
“Rasulullah
memerintahkan Abu Musa untuk memberi kabar gembira kepada Utsman dengan jannah,
dengan ujian yang akan menimpanya.”
Akhir kehidupan pembunuh-pembunuh ‘Utsman bin ‘Affan R.A
Orang-orang yang memberontak Utsman R.A dan memiliki andil dalam pembunuhan
khalifah yang terzalimi mendapat hukuman pedih dari Allah. Demikianlah akibat
bagi mereka yang memusuhi wali-wali Allah. Benarlah firman Allah dalam sebuah
hadits Qudsi:
“Barangsiapa menyakiti wali-Ku, sungguh Aku umumkan perang dengannya…”
- Khurqush bin Zuhair As-Sa’di
dibunuh oleh ‘Ali bin Abi Thalib pada perang Nahrawan tahun 39 H.
- ‘Alba’ bin Haitsam As-Sadusi
dibunuh pada perang Jamal.
- Amr bin Al-Hamaq Al-Khuza’i
hidup hingga tahun 51 H, ia ditikam.
- ‘Umair bin Dhabi’ yang
mematahkan tulang rusuk ‘Utsman z, hidup hingga zaman Hajjaj bin Yusuf
Ats-Tsaqafi, dia pun dibunuh. Demikian pula para pembunuh ‘Utsman z yang
selain mereka.
Wallahu
a’lam.