Abu bakar siddiq
Hari Senin,
ketika itu, dunia berguncang dahsyat. Seorang kekasih, seorang Nabi dan seorang
Rasul terakhir, kembali kepada PenciptaNya. Sayyidina Muhammad Saw. wafat,
setelah beberpa hari beliau sakit.
Seperti
kelengangan yang mencekam, sekaligus bayang-bayang keruntuhan, tetapi juga
sebuah tonggak yang hendak ditegakkan. Tonggak besar sepeninggal beliau. Duka
dan harapan bercampur baur. Sebuah sudut sejarah paling tajam, dalam
sirkuit perjalanan perjuangan membela agama Allah Swt dan RasulNya Sallallahu
‘alaihi wasallam.
Saat itulah
ummat Islam harus keluar dari kemelut yang begitu besar. Sekaligus harus
memenangkan perjuangan melawan diri sendiri, juga memenangkan perjuangan
melawan musuh-musuh Islam dari luar yang hendak merampas kekuatan Islam.
Tampillah
manusia besar, pahlawan yang tiada tara, mengurai benang kusut dan membebaskan
kemelut yang luar biasa. Abu Bakr ash-Shiddiq ra, kekasih Rasulullah Saw.,
pembela dan pendamping selama hidupnya, yang menenangkan gelombang dahsyat kala
itu, hampir-hampir darah bertumpah, dan api fitnah membubung ke angkasa.
Ia hadir
antara duka nestapa dan harapan besar terhadap Rahmat Allah Swt di masa depan.
Ia tampil dengan fitrah dan cahaya. Ia muncul membentengi bangunan kokoh yang
hampir diruntuhkan oleh kekafiran, kemurtadan dan kemunafikan. Keperkasaan
kharisma yag melampaui kegagahan para panglima perang, tetapi juga kelembutan,
cinta dan kasih saying yang mengungguli jiwa-jiwa kasih yang membumbung ke
angkasa.
Itulah Abu
Bakr ash-Shiddiq yang tak pernah membuat kering para penulis sejarah
menggoreskan tinta emasnya. Begitu dekatnya, jiwa, qalbunya, dan hartanya untuk
Allah Swt dan RasulNya, di saat yang sama begitu kuat dan besarnya tanggung
jawab atas keselamatan ummat sepeninggal Sang Nabi dan Sang Rasul Sallallahu
‘alaihi wasallam dunia akhiratnya, sampai selamat di hadapanNya kelak.
Ketegasan
yang teguh dalam membela Sang Rasul Saw. yang tak terbayangkan dengan
kesalehan seorang Sufi yang terus mengalirkan sungai-sungai air mata yang
membelah celah-celah pipinya, membasahi janggutya, dengan rintihan-rintihan
kefanaan, munajat cinta, dan rasa rindu yang dahsyat kepada Sang Nabi
Sallallahu ‘alaihi wasallam. yang telah mendahuluinya.
Abu Bakr
ash-Shiddiq radhiallahu’anhu, teladan yang tak pernah sunyi dalam ruang kosong
sejarah. Seorang panutan dalam religiusitas yang menjulang ke langit, seorang
yang terbuka (inklusif) dan sangat demokratis, melebihi para raja dan penguasa
dunia kala itu. Tokoh yang sangat menghargai kearifan lokal, dengan pencahayaan
Islam yang dalam. Negarawan yang gagah nan saleh, tampil sebagai bapak
pelindung ummat, tak kenal kompromi bila harus menghadapi mereka yang hendak
merobohkan pilar-pilar agama yang dibangun oleh Sang Nabi Sallallahu ‘alaihi
wasallam.
Namun ia
merasakan kesunyian yang dahsyat ketika malam menyelimuti kegelapan tiba,
rindunya bergelora dalam lembah Cinta kepada Tuhan RasulNya. Dialah
Khalifatullah yang sesungguhnya, walau ia dengan kerendahan hati dan rasa hina
dinanya dihadapan Allah Swt, hanya menyebut dirinya sebagai Khalifah Rasul.
Maka, tak
mengherankan jika namanya selalu disebut dalam milyaran bibir yang bergetar
setelah nama Sang Nabi Saw. Semetara milyaran jantung ummat berdetak,
menggetarkan ArasyNya, ketika Hadharat Al-Fatihah diucapkan setelah Sang Nabi
Sallallahu ‘alaihi wasallam. Berkah-berkah cahaya melimpah, hingga menyirnakan
luka-luka sejarah di masa lampau. Era yang paling sulit dilaluinya, seperti
meniti jembatan Shirathal Mustaqim, ketika di bawahnya berkobar api neraka
dunia. “Jalan Lurus” menuju Allah bersama ummat ketika itu.
DIPANGGIL
Abu Bakr ash-Shiddiq ra, dialah Abdullah bin Abi Quhafah, Utsman bin Amir bin
Amr bin Ka’b bin Taym bin Murrah bin Ka’b Lu’ay bin Ghalib al-Qurasy at-Taymi.
Nasabnya bertemu dengan Nabi Saw. pada Murrah bin Ka’b. Bertemu nasabnya dengan
Nabi Sallallahu ‘alaihi wasallam pada kakeknya Murrah bin Ka’ab bin Luai.
Abu Bakr
adalah ayah dari Aisyah, istri Nabi Muhammad Saw. Nama yang sebenarnya adalah
Abdul Ka’bah (artinya ‘hamba Ka’bah’), yang kemudian diubah oleh Muhammad Saw.
menjadi Abdullah (artinya ‘hamba Allah’). Muhammad Saw. memberinya gelar
Ash-Shiddiq (artinya ‘yang berkata benar’) setelah Abu Bakr membenarkan
peristiwa Isra Mi’raj yang diceritakan oleh Muhammad Saw. kepada para
pengikutnya, sehingga ia lebih dikenal dengan nama “Abu Bakr ash-Shiddiq”.
Abu Bakr
ash-Shiddiq, lahir: 572 - wafat: 23 Agustus 634/21 Jumadil Akhir 13 H. Lelaki
pertama yang beriman kepada Allah dan Rasulullah Saw. Setelah Nabi Muhammad
Saw. wafat, Abu Bakr menjadi khalifah Islam yang pertama pada tahun 632 hingga
tahun 634 M.
MENJADI
KHALIFAH
Pagi itu 12 Rabiul Awal tahun 11 H (3 Juni 632 M), subuh dinihari Rasulullah Saw. merasa sudah sembuh dari sakitnya. Ia keluar dar rumah Aisyah ra ke masjid, dan sempat berbicara denga kaum Muslimin. Dipanggilnya Usamah bin Zaid dan diperintahkan untuk melakukan jihad menghadapi Romawi.
Pagi itu 12 Rabiul Awal tahun 11 H (3 Juni 632 M), subuh dinihari Rasulullah Saw. merasa sudah sembuh dari sakitnya. Ia keluar dar rumah Aisyah ra ke masjid, dan sempat berbicara denga kaum Muslimin. Dipanggilnya Usamah bin Zaid dan diperintahkan untuk melakukan jihad menghadapi Romawi.
Beberapa
saat setelah itu, ummat sedang berbicang-bincang, sembari duduk-duduk,
tersiar kabar bahwa Rasulullah Saw. wafat. Umar bin Khaththab ra berdiri dan
berpidato membantah berita itu. Ia katakan bahwa Nabi Muhammad Saw. tidak
meninggal, namun hanya pergi menghadap Tuhannya seperti Musa bin Imran yang
menghilang dari ummatnya selama 40 malam. Siapa yang membantah Umar, akan
dipotong tangan dan kakinya.
Saat itu Abu
Bakr ash-Shiddiq ra sudah pulang ke rumahnya di Sunh, pinggiran kota Madinah,
ketika mendengar berita sedih itu, ia kembali. Ia menuju rumah Aisyah ra.
Dilihatnya Nabi Sallallahu ‘alaihi wasallam di salah satu bagian dalam rumah
itu, sudah diselubungi kain. Ia maju menyingkap kain itu dari wajah Nabi lalu
menciumnya dan katanya:
“Alangkah
sedapnya sewaktu engkau hidup, dan alangkah sedapnya sewaktu engkau wafat.”
Ia
keluar lagi menemui orang banyak lalu berkata kepada mereka:
“Saudara-saudara.
Barang siapa mau menyembah Muhammad Saw., Muhammad Saw. sudah meninggal. Tetapi
barang siapa menyembah Allah, Allah hidup selalu, tak pernah mati.”
Selanjutnya
ia membacakan firman Allah: “Muhammad Saw. hanyalah seorang Rasul; sebelumnya
pun telah berlalu rasul-rasul. Apabila dia mati atau terbunuh kamu akan
berbalik belakang? Barang siapa berbalik belakang samasekali tak akan merugikan
Allah tetapi Allah akan memberi pahala kepada orang-orang yang bersyukur.”
(Qur’an, 3. 144).
Setelah
didengarnya Abu Bakr membacakan ayat itu, Umar jatuh tersungkur ke tanah. Kedua
kakinya sudah tak dapat menahan lagi, setelah dia yakin bahwa Rasulullah Saw.
memang sudah wafat. Orang semua terdiam setelah mendengar dan melihat kenyataan
itu. Setelah sadar dari rasa kebingungan demikian, mereka tidak tahu apa yang
hendak mereka perbuat.
Di tengah
kegaduhan luar biasa itu, tiba-tiba orang-orang Anshar berkumpul dalam Saqifah
Bani Saidah, sedang mendiskusikan siapa pemimpin pengganti Rasulullah Saw.
Mendengar berita itu Umar bin Khatthab ra. bergegas mengajak Abu Bakr
as-Shiddiq ra. bersama Abu Ubaidah bin Jarrah, untuk mengatasi persoalan ummat
dan kenegaraan yang hampir menjadi fitnah dahsyat, yang mengancam persatuan
ummat.
Umar sudah
menyiapkan argumen dan pidatonya, tetapi dicegah oleh Abu Bakr ash-Shiddiq,
kawatir situasi emosional tak terkendali, dan ia sangat mengenal kawan dekatnya
itu.
Kaum Anshar
hendak menunjuk pemimpin sepeninggal Rasul adalah dari kalangan mereka, dengan
berbagai alasan. Mereka ini dipelopori oleh Sa’d bin Ubaidah. Maka Abu Bakr
ash-Shiddiq yang bicara pertama kali, kepada kaum Anshar:
“......Orang-orang
Arab itu berat sekali untuk meninggalkan agama nenek moyang mereka. Kaum
Muhajirin yang mula-mula dari masyarakat Nabi sendiri telah mendapat karunia
Allah, mereka percaya kepadanya, beriman kepadanya, senasib seperjuangan dengan
menanggung segala macam penderitaan, yang datangnya justru dari masyarakat
mereka sendiri. Mereka didustakan, ditolak dan dimusuhi. Mereka tak merasa
gentar, meskipun jumlah mereka kecil, menghadapi kebencian dan permusuhan lawan
yang begitu besar. Mereka itulah yang telah lebih dulu menyembah Allah di muka
bumi, beriman kepada Allah dan kepada Rasul-Nya. Mereka itu termasuk
sahabat-sahabatnya dan keluarganya. Sepeninggal Nabi, merekalah orang-orang
yang paling berhak memegang pimpinan ini. Tak ada orang yang akan menentang
kecuali orang yang zalim.”
“Dan kalian,
Saudara-saudara Anshar! Siapa yang akan membantah jasa kalian dalam agama serta
sambutanmu yang mula-mula, yang begitu besar artinya dalam Islam. Allah telah
memilih kamu sebagai pembela (Anshar) agama dan Rasul-Nya. Ke tempat kalian
inilah Ia hijrah dan dari kalangan kalian ini pula sebagian besar istri-istri
dan sahabat-sahabatnya. Posisi itu hanya ada pada kamu sekalian setelah kami.
Karena itu, maka kamilah para amiir dan Tuan-tuan para waziir. Kami tak akan
meninggalkan Tuan-tuan dalam musyawarah dan tak akan memutuskan sesuatu tanpa
Tuan-tuan”
“......Kami
para amiir dan Tuan-tuan para waziir. Kami tidak akan meninggalkan Tuan-tuan
dalam musyawarah, dan kami takkan memutuskan sesuatu tanpa Tuan-tuan.”
Kata-kata ini mirip sekali dengan pendapat Anshar yang mengatakan:
“.....dan kami
seorang amiir dan dari Muhajirin seorang amiir.” Kata-kata yang lebih teratur
ini dan akan membawa segala persoalan ke arah yang lebih baik dan membangun.
Barangkali ini pula tujuan Abu Bakr — tujuan yang sangat bijaksana dengan
pandangan yang jauh. Barangkali pihak Aus pun yang tadinya masih bersaing
dengan Khazraj, sekarang sudah puas menerima Abu Bakr. Dan kalangan Khazraj
sendiri barangkali banyak yang tidak keberatan terhadapnya.
JAWABAN
ANSHAR KEPADA ABU BAKR
Orang-orang
yang masih diliputi semangat mempertahankan Anshar merasakan pengaruh kata-kata
Abu Bakr itu dalam hati kalangan Saqifah. Mereka khawatir kesepakatan yang
semula sudah ada akan buyar. Keadaan itu dipaksakan oleh pihak Muhajirin dan
kekuasaan akan dipegang mereka sendiri. Maka salah seorang dari Anshar berdiri
dan berkata:
“Kemudian
daripada itu. Kami adalah Ansharullah dan pasukan Islam, dan kalian dari
kalangan Muhajirin sekelompok kecil dari kami, datang ke mari mewakili golongan
Tuan-tuan. Tetapi ternyata sekarang Tuan-tuan mau mengambil hak kami secara
paksa.”
Dalam
kedudukannya itu, apa yang didengarnya tentu tidak menyenangkan Abu Bakr.
Sekali lagi ia menunjukkan kata-katanya kepada Anshar, seraya katanya:
“Saudara-saudara!
Kami dari Muhajirin orang yang pertama menerima Islam. Keturunan kami orang
baik-baik, keluarga kami terpandang, kedudukan kami baik pula. Di kalangan Arab
kamilah yang banyak memberikan keturunan, dan kami sangat sayang kepada
Rasulullah Saw. Kami sudah memeluk Islam sebelum Tuan-tuan, di dalam Qur’an
juga kami didahulukan dari Tuan-tuan, seperti dalam firman Allah:
“Pelopor-pelopor pertama dari Muhajirin dan Anshar, dan yang mengikuti mereka
dalam segala perbuatan yang baik (Qur’an, 9. 100). Jadi kami Muhajirin dan Tuan-tuan
adalah Anshar, Saudara-saudara kami seagama, bersama-sama menghadapi rampasan
perang dan penolong-penolong kami dalam menghadapi musuh. Apa yang telah
Tuan-tuan katakan, bahwa segala kebaikan ada pada Tuan-tuan itu sudah pada
tempatnya. Dari segenap penghuni bumi ini Tuan-tuanlah yang patut dipuji.
Tetapi dalam hal ini orang-orang Arab itu hanya mengenal lingkungan Quraisy.
Jadi dari pihak kami para amiir dan dari pihak Tuan-tuan para waziir.”!
Tetapi
ucapan Abu Bakr ash-Shiddiq ini ditimpali dengan keras oleh Hubab bin
al-Mundzir bin Jamuh yang menginginkan kesamaan, “Sekarang saudara-sudara dari
kami seorang amiir, dan dari tuan-tuan juga seorang amiir!” Katanya mengakhiri
pidato.
Inilah yang
membuat naik pitam Umar bin Khaththab, yang tidak menginginkan adanya dua
nakhoda dalam kapal kepemimpinan. Akhirnya tokoh Anshar yang selama ini diam,
Abu Ubaidah bin Jarrah turun tangan. “Saudara-saudara Anshar! Kalian adalah
orang yang pertama memberikan bantuan dan dukungan, janganlah sekarang jadi
orang yang pertama pula mengadakan perubahan dan perombakan.”
Tiba-tiba
tokoh Anshar lain Basyir bin Sa‘d, mengambil kesempatan bicara. Ia adalah
Basyir bin Sa’d Abu an-Nu’man bin Basyir, salah seorang pemimpin Khazraj,
berdiri menyambut ucapan Abu Ubaidah yang bijaksana itu:
“Kalau kita
sudah mendapat tempat pertama dalam perang melawan kaum musyrik dan juga yang
mula-mula menyambut agama ini, yang kita tuju hanya rida Allah serta kepatuhan
kita kepada Nabi kita yang sudah bekerja keras untuk kita. Maka tidaklah pada
tempatnya kita akan menyombongkan diri kepada orang lain, juga bukan tujuan
kita ganjaran duniawi ini sebagai balasan buat kita. Tuhanlah yang akan
memberikan ganjaran kepada kita untuk ini semua. Ya, Muhammad Sallallahu
‘alaihi wasallam dari Quraisy, maka kabilah inilah yang lebih berhak atas semua
itu. Demi Allah aku bersumpah. Janganlah sekali-kali kita disaksikan Allah
dalam keadaan bersengketa mengenai hal ini. Takutlah kalian kepada Allah, dan
janganlah menentang dan bertengkar dengan mereka.”
Abu Bakr
mengitarkan pandangannya kepada Anshar, ingin melihat kesan apa yang timbul dan
kata-kata Basyir itu. Dilihatnya Aus seolah mereka saling berbisik dan banyak
pula dan pihak Khazraj yang tampaknya merasa puas dengan kata-kata Basyir itu.
Ia yakin, bahwa keadaannya sekarang sudah reda dan sudah tiba pula saatnya
mengambil keputusan. Kesempatan ini tak boleh dibiarkan. Oleh karena waktu itu
Ia sedang duduk di tengah-tengah, antara Umar dan Abu Ubaidah, maka dipegangnya
tangan mereka itu masing-rnasing dan katanya seraya mengajak Anshar menjaga
persatuan dan menghindari perpecahan:
“Ini Umar
dan ini Abu Ubaidah, berikanlah ikrar Tuan-tuan kepada yang mana saja yang
Tuan-tuan sukai.”
Ketika itu
timbul pula kegaduhan dan perselisihan pun mulai merebak lagi. Umarkah yang
akan dibaiat dengan sikapnya yang begitu keras, tetapi dalam pada itu Ia
pendamping (waziir) Nabi dan ayah Hafsah Ummul Mukminin?! Atau Abu Ubaidah yang
akan dilantik, yang sampai saat itu wibawa dan kedudukannya belum seperti Umar
dalam hati kaum Muslimin?!
UMAR DAN ABU
UBAIDAH MELANTIK ABU BAKR
Tetapi Umar
tidak akan membiarkan perselisihan itu menjadi perkelahian yang berkepanjangan.
Dengan suaranya yang lantang menggelegar Ia berkata: “Abu Bakr, bentangkan
tanganmu.”
Abu Bakr
membentangkan tangan dan oleh Umar ia diikrarkan seraya katanya:
“Abu Bakr,
bukanlah Nabi menyuruhmu memimpin Muslimin bersembahyang? Engkaulah
penggantinya (khalifahnya). Kami akan mengikrarkan orang yang paling disukai
oleh Rasulullah Saw. di antara kita semua ini.”
Menyusul Abu
Ubaidah memberikan ikrar:
“Engkaulah
di kalangan Muhajirin yang paling mulia,” katanya, “dan yang kedua dari dua
orang dalam gua. menggantikan Rasulullah Saw. dalam salat, sesuatu yang paling
mulia dan utama dalam agama kita. Siapa lagi yang lebih pantas dari engkau
untuk ditampilkan dari memegang pimpinan ini!”
Seluruh yang
hadir akhirnya bergant ian membaiat Abu Bakr Shiddiq sebagai Khalifah.
Setelah itu
beliau berpidato. Setelah mengucapkan puji syukur kepada Allah Abu Bakr
radiallahi’anhu berkata:
“Kemudian,
Saudara-saudara. Saya sudah terpilih untuk memimpin kamu sekalian, dan saya
bukanlah orang yang terbaik di antara kamu sekalian. Kalau saya berlaku baik,
bantulah saya. Kebenaran adalah suatu kepercayaan, dan dusta adalah
pengkhianatan. Orang yang lemah di kalangan kamu adalah kuat di mata saya,
sesudah haknya saya berikan kepadanya — insya Allah, dan orang yang kuat buat
saya adalah lemah sesudah haknya nanti saya ambil — insya Allah. Apabila ada golongan
yang meninggalkan perjuangan di jalan Allah, maka Allah akan menimpakan
kehinaan kepada mereka. Apabila kejahatan itu sudah meluas pada suatu golongan,
maka Allah akan menyebarkan bencana kepada mereka. Taatilah saya selama saya
taat kepada (perintah) Allah dan RasulNya. Tetapi apabila saya melanggar
(perintah) Allah dan Rasulullah Saw. maka gugurlah kesetiaanmu kepada saya.
Laksanakanlah salat kamu, Allah akan merahmati kamu sekalian.”
PERISTIWA
ERA ABU BAKR ASH-SHIDDIQ
Maka betapa
hebatnya tokoh ini, yang mencatat kegemilangan dalam waktu singkat saat menjadi
Khalifah Rasulullah Saw. Sukses-sukses itu antara lain:
Melanjutkan
ekspedisi milter Usamah.
Memerangi kaum Murtad.
Memerangi penolak bayar zakat.
Memerangi Musailamah al-Kadzdzab para Nabi Palsu.
Mengumpulkan al-Qur’an.
Memerangi kaum Murtad.
Memerangi penolak bayar zakat.
Memerangi Musailamah al-Kadzdzab para Nabi Palsu.
Mengumpulkan al-Qur’an.
Banyak
prestasi luar biasa dalam bidang politik dan kenegaraan; Abu Bakr ash-Shiddiq
berhasil mempresentasikan di hadapan sejarah bahwa konsep Islam tentang Negara
dan khilafah sesungguhnya tidak ada, karena itu beliau tetap mengunggulkan
konsep demokrasi religius yang berdasar musyawarah demi kesatuan dan keutuhan
serta tegaknya agama.
Karena itu
tidak ada konsep tegas mengenai sistem kenegaraan dan khilafah dalam Islam,
sehingga setiap periode Khulafaur-Rasyidin saja, sistem suksesinya
berbeda-beda. Inilah keleluasaan Islam dan universalitasnya, justru memberikan
penghargaan pada situasi dan kondisi sosiologis dan historis, dalam rangka
menegakkan agama dan kehidupan ummat manusia.
NASAB DAN
KARAKTER FISIKNYA
Ammar bin
Yasir radhiallahu‘anhu mengatakan, “(Di awal Islam) Aku melihat Nabi Sallallahu
‘alaihi wasallam. hanya bersama lima orang budak, dua orang wanita, dan Abu
Bakr ash-Shiddiq radhiallahu anhum ajmain.” (Riwayat Bukhari).
Sebagaimana
telah masyhur, laqob ash-shiddiq disematkan padanya karena ia selalu
membenarkan apa yang datang dari Nabi Sallallahu ‘alaihi wasallam. Sebagaimana
pada pagi hari setelah kejadian Isra’ dan Mi’raj orang-orang kafir berkata
kepadanya, “Temanmu (Muhammad Saw) mengaku-ngaku telah pergi ke Baitul Maqdis
dalam semalam”. Abu Bakr menjawab, “Jika ia berkata demikian, maka itu
benar”.
Ummul
Mukminin, Aisyah ra. menuturkan sifat fisik ayahnya, “Ia seorang yang berkulit
putih, kurus, tipis kedua pelipisnya, kecil pinggangnya, wajahnya selalu
berkeringat, hitam matanya, dahinya lebar, tidak bisa bersaja’, dan selalu
mewarnai jenggotnya dengan memakai inai atau katam. (Thabaqat Ibnu Sa’ad, 1:
188).
KEUTAMAAN
ABU BAKR
Pertama, dijamin masuk surga dan memasuki
semua pintu yang ada di sana, padahal saat itu beliau masih menjejakkan kaki di
muka bumi. Rasulullah Sallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Orang yang
menyumbangkan dua harta di jalan Allah, maka ia akan dipanggil oleh salah satu
dari pintu surga: “Wahai hamba Allah, kemarilah untuk menuju kenikmatan.” Jika
ia berasal dari golongan orang-orang yang suka mendirikan shalat, ia akan
dipanggil dari pintu shalat, yang berasal dari kalangan mujahid, maka akan
dipanggil dari pintu jihad, jika ia berasal dari golongan yang gemar bersedekah
akan dipanggil dari pintu sedekah, mereka yang berpuasa akan dipanggil dari
pintu puasa, yaitu pintu Rayyan. Lantas Abu Bakr bertanya; “Jika seseorang
(yang masuk surga) dipanggil dari salah satu pintu, itu adalah sebuah
kepastian. Apakah mungkin ada orang akan dipanggil dari semua pintu tersebut
wahai Rasulullah Saw?” Rasulullah Saw menjawab, “Benar, dan aku berharap kamu
termasuk diantara mereka, wahai Abu Bakr.” (HR. al-Bukhari & Muslim).
Kedua, Abu Bakr adalah laki-laki yang
paling dicintai oleh Rasulullah Saw.
Amr bin
Al-Ash ra bertanya kepada Nabi Saw, “Siapa orang yang kau cintai?” Rasulullah
Saw. menjawab: “Aisyah.” Aku bertanya lagi: “Kalau laki-laki?” Beliau menjawab:
“Ayahnya Aisyah (yaitu Abu Bakr)” (HR. Muslim).
Ketiga,
Allah mempersaksikan bahwa Abu Bakr adalah orang yang ikhlas dalam mengamalkan
ajaran Islam. Allah Taala berfirman, “Dan kelak akan dijauhkan orang yang
paling takwa dari neraka itu, Yang menafkahkan hartanya (di jalan Allah) untuk
membersihkannya, Padahal tidak ada seorang pun memberikan suatu nikmat
kepadanya yang harus dibalasnya, Tetapi (dia memberikan itu semata-mata) karena
mencari keridaan Tuhannya Yang Maha Tinggi. Dan kelak dia benar-benar mendapat
kepuasan.” (QS. Al Lail: 17-21)
Para ulama,
di antaranya Syaikh Abdurrahman bin Nashir as-Sadi ketika menafsirkan ayat ini
beliau berkata, sebab turun ayat ini adalah berkaitan dengan Abu Bakr
ash-Shiddiq (Tafsir as-Sadi, Hal: 886).
Keempat,
orang-orang musyrik menyifati Abu Bakr sebagaimana Khadijah menyifati
Rasulullah Sallallahu ‘alaihi wasallam. Abu Bakr adalah salah seorang sahabat
yang diperintahkan Rasulullah Saw. untuk berhijrah ke negeri Habasyah. Meskipun
Abu Bakr lebih senang berada di sisi Rasulullah Saw. namun Rasulullah Saw.
mengkhawatirkan keselematan Abu Bakr karena kabilahnya termasuk kabilah yang
lemah, tidak mampu melindunginya dari ancaman orang-orang kafir Quraisy.
Dalam
perjalanan menuju Habasyah, saat sampai di suatu wilayah yang bernama Barku
al-Ghumad, Abu Bakr berjumpa dengan seseorang yang dikenal dengan Ibnu Dughnah
yang kemudian menanyakan perihal tentangnya. Lalu Ibnu Dughnah mengajak Abu
Bakr kembali ke Mekah dan ia berkata kepada kafir Quraisy, “Apakah kalian
mengusir orang yang suka menghilangkan beban orang-orang miskin, menyambung
silaturahim, menanggung orang-orang yang lemah, menjamu tamu, dan selalu
menolong di jalan kebenaran?” (Riwayat Bukhari)
Sifat yang
sama seperti sifat yang dikatakan Ummul Mukminin Khadijah tatkala menenangkan
Rasulullah Saw. tatkala pertama kali menerima wahyu.
Oleh karena
itu, tidak heran sampai-sampai Umar bin al-Khattab menyifati keimanan Abu Bakr
dengan permisalan yang sangat luar biasa. Umar mengatakan, “Seandainya
ditimbang iman Abu Bakr dengan iman seluruh penduduk bumi, niscaya lebih berat
iman Abu Bakr.”
Diriwayatkan
dari Aisyah radhiallahu’anha, ia menceritakan, setiap harinya Rasulullah Saw.
selalu datang ke rumah Abu Bakr di waktu pagi atau di sore hari. Namun pada
hari di mana Rasulullah Saw. diizinkan untuk berhijrah, beliau datang tidak
pada waktu biasanya. Abu Bakr yang melihat kedatangan Rasulullah Saw. berkata,
“Tidaklah Rasulullah Saw. datang di waktu (luar kebiasaan) seperti ini, pasti
karena ada urusan yang sangat penting”. Saat tiba di rumah Abu Bakr, Rasulullah
Saw. bersabda, “Aku telah diizinkan untuk berhijrah.” Kemudian Abu Bakr
menanggapi, “Apakah Anda ingin agar aku menemanimu wahai Rasulullah Saw?”
Rasulullah Saw. menjawab, “Iya, temani aku.” Abu Bakr pun menangis.
Kemudian
Aisyah mengatakan, “Demi Allah! Sebelum hari ini, aku tidak pernah sekalipun
melihat seseorang menangis karena berbahagia. Aku melihat Abu Bakr menangis
pada hari itu”.
Abu Bakr
kemudian berkata, “Wahai Nabi Allah, ini adalah kedua kudaku yang telah aku
persiapkan untuk hari ini.” Hadits ini diriwayatkan oleh Imam Bukhari.
Subhanallah!
Abu Bakr menangis bahagia karena bisa hijrah bersama Rasulullah Saw. Padahal
hijrah dari Mekah ke Madinah kala itu benar-benar membuat nyawa terancam,
meninggalkan harta, meninggalkan keluarga; anak dan istri yang ia cintai, tapi
cinta Abu Bakr kepada Rasulullah Saw. membuatnya lebih mengutamakan Rasulullah
Saw. daripada harta, anak, istri, bahkan dirinya sendiri.
MENANGIS SAAT
MEMBACA AL-QURAN
Abu Bakr
Ash-Shiddiq ra, adalah seorang laki-laki yang amat lembut hatinya sehingga
tatkala membaca Al-quran, matanya senantiasa berurai air mata. Tatkala
Rasulullah Saw. sakit menjelang wafatnya, beliau memerintahkan Abu Bakr agar
mengimami kaum muslimin. Lalu Aisyah mengomentari hal itu, “Sesungguhnya Abu
Bakr adalah seorang yang sangat lembut, apabila ia membaca Al-quran, ia tak
mampu menahan tangisnya”. Aisyah khawatir kalau hal itu mengganggu para jamaah.
Namun Rasulullah Saw. tetap memerintahkan agar Abu Bakr mengimami kaum
muslimin.
Karena
bacaan Al-qurannya pula, orang-orang kafir Quraisy mengeluh kepada Ibnu
Dhughnah –orang yang menjamin Abu Bakr- agar ia meminta Abu Bakr membaca
Al-quran di dalam rumahnya saja, tidak di halaman rumah, apalagi di
tempat-tempat umum. Mereka khawatir istri-istri dan anak-anak mereka
terpengaruh dengan lantunan ayat suci yang dibaca oleh Abu Bakr.
Dikisahkan
pula dari Aisyah radhiallahu’anha, ia berkata:
“Abu Bakr
ash-Shiddiq memiliki budak laki-laki yang senantiasa mengeluarkan kharraj
(setoran untuk majikan) padanya. Abu Bakr biasa makan dari kharraj itu. Pada
suatu hari ia datang dengan sesuatu, yang akhirnya Abu Bakr makan darinya.
Tiba-tiba sang budak berkata, Apakah Anda tahu dari mana makanan ini?. Abu Bakr
bertanya, Dari mana? Ia menjawab, Dulu pada masa jahiliyah aku pernah menjadi
dukun yang menyembuhkan orang. Padahal bukannya aku pandai berdukun, namun aku
hanya menipunya. Lalu si pasien itu menemuiku dan memberi imbalan buatku. Yang
Anda makan saat ini adalah hasil dari upah itu. Akhirnya Abu Bakr memasukkan
tangannya ke dalam mulutnya hingga keluarlah semua yang ia makan.” (HR.
Bukhari).
AWAL
KEHIDUPAN
Abu Bakr
ash-Shiddiq dilahirkan di kota Mekah dari keturunan Bani Tamim , sub-suku
bangsa Quraisy. Beberapa sejarawan Islam mencatat ia adalah seorang pedagang,
hakim dengan kedudukan tinggi, seorang yang terpelajar, serta dipercaya sebagai
orang yang bisa menafsirkan mimpi.
Ketika
Muhammad Saw. menikah dengan Khadijah binti Khuwailid, ia pindah dan hidup
bersama Abu Bakr. Saat itu Muhammad Saw. menjadi tetangga Abu Bakr. Sejak saat
itu mereka berkenalan satu sama lainnya. Mereka berdua berusia sama, pedagang
dan ahli berdagang.
Istrinya
Qutaylah binti Abdul Uzza tidak menerima Islam sebagai agama sehingga Abu Bakr
menceraikannya. Istrinya yang lain, Ummu Ruman, menjadi Muslimah. Juga semua
anaknya kecuali ‘Abd Rahman bin Abu Bakr, sehingga ia dan ‘Abd Rahman berpisah.
PENYIKSAAN
OLEH QURAISY
Sebagaimana
yang juga dialami oleh para pemeluk Islam pada masa awal. Ia juga mengalami
penyiksaan yang dilakukan oleh penduduk Mekkah yang mayoritas masih memeluk
agama nenek moyang mereka. Namun, penyiksaan terparah dialami oleh mereka yang
berasal dari golongan budak. Sementara para pemeluk non budak biasanya masih
dilindungi oleh para keluarga dan sahabat mereka, para budak disiksa sekehendak
tuannya. Hal ini mendorong Abu Bakr membebaskan para budak tersebut dengan
membelinya dari tuannya kemudian memberinya kemerdekaan.
Ketika
peristiwa Hijrah, saat Nabi Muhammad Saw. pindah ke Madinah (622 M), Abu Bakr
adalah satu-satunya orang yang menemaninya. Abu Bakr juga terikat dengan Nabi
Muhammad Saw. secara kekeluargaan. Anak perempuannya, Aisyah menikah dengan
Nabi Muhammad Saw. beberapa saat setelah Hijrah.
KAROMAH ABU
BAKR AS-SIDDIQ
Fakhrur
Razi, tatkala menafsirkan Surat Al-Kahfi banyak menceritakan tentang karomah
para sahabat Nabi termasuk di dalamnya karomah Abu Bakr As-Siddiq. Diceritakan
bahwa saat mayat Abu Bakr dibawa dan mendekati pintu makam Rasulullah Saw. para
pengusung mengucapkan salam, “Assalammu’alaika ya Rasulullah Saw. ini Abu Bakr
sedang di luar pintu.” Tanpa diduga pintu makam langsung terbuka dan terdengar
suara, “Masuklah orang yang dicintai kepada orang yang mencintainya.” Menurut
Imam Taj Al-Subki, Abu Bakr memiliki 2 macam karamah. Pertama, mengetahui
penyakit yang dialaminya membawa kematian dan mengetahui bayi yang ada didalam.
Pada suatu
hari, Ali ra. sedang memberikan ceramah, dan dia berkata kepada para hadirin
“Siapa orang yang paling kuat?” Orang-orang berkata “Engkau adalah yang paling
kuat.” Mereka berpikir begitu karena Ali ra. selalu siap untuk bertarung pada
orang yang melawan umat Muslim. Dia-lah pahlawan pada perang Khaybar.
Bayangkanlah, Ali pernah menggunakan pintu kastil sebagai tameng pada perang
Khaybar! Bayangkan betapa kuatnya dia. Jadi orang-orang mengatakan bahwa Ali
ra. adalah orang yang paling kuat.
Ali ra.
berkata “Aku siap bertarung dengan orang-orang yang menantangku, Meskipun
begitu, Abu Bakar As Saddiq ra. akan melawan siapapun yang menantang Rasulullah
Saw. Dia lebih kuat daripada aku.”
Abu Bakar
adalah orang yang paling berani dalam umat ini setelah Rasulullah Saw.
Seseorang dapat melihat kekuatan hatinya pada perang Badar, Uhud, Parit,
Hudaibiyah, dan Hunain. Semua ini cukup untuk membuktikan ketabahan,
keteguhannya, dan menguatkan seluruh umat Islam ketika tragedi terbesar menimpa
umat Islam, yaitu wafatnya Rasulullah Saw.
CIRI KHAS
MASA ABU BAKR
Memang saya
sederhanakan tatkala saya sebutkan bahwa masa (periode) pemerintahan Abu Bakr
punya jati diri dan bentuknya sendiri yang sempurna, yaitu dalam hubungannya
dengan masa Rasulullah Saw. sebelum itu dan dengan masa Umar sesudahnya, yang
ditandai dengan suatu ciri khas. Masa Rasulullah Saw. adalah masa wahyu dari
Allah. Allah telah menyempurnakan agama itu untuk umat manusia, telah
melengkapinya dengan karunia-Nya dan dengan Islam sebagai agama yang
dipilihkan-Nya untuk mereka.
Sedang masa
Umar ialah masa pembentukan hukum yang dasar-dasarnya sudah ditertibkan dengan
kedaulatan yang sudah mulai berjalan lancar. Sebaliknya masa Abu Bakr adalah
masa peralihan yang sungguh sulit dan rumit, yang bertalian dengan kedua masa
itu; namun berbeda dengan kedua masa itu. Bahkan berbeda dari setiap masa yang
pernah dikenal orang dalam sejarah hukum dan ketertibannya serta dalam sejarah
agama-agama dan penyebarannya.
AL-QUR’AN
Abu Bakr
juga berperan dalam pelestarian teks-teks tertulis Al-Qur’an. Dikatakan bahwa
setelah kemenangan yang sangat sulit saat melawan Musailamah al-Kadzab dalam
perang Riddah, banyak para penghafal Al-Qur’an yang ikut tewas dalam
pertempuran. Umar lantas meminta Abu Bakr untuk mengumpulkan koleksi dari
Al-Qur’an. oleh sebuah tim yang diketuai oleh sahabat Zaid bin Tsabit, mulailah
dikumpulkan lembaran-lembaran Al-Qur’an dari para penghafal Al-Qur’an dan
tulisan-tulisan yang terdapat pada media tulis seperti tulang, kulit dan lain
sebagainya,setelah lengkap penulisan ini maka kemudian disimpan oleh Abu Bakr.
Setelah Abu Bakr meninggal maka disimpan oleh Umar bin Khaththab dan kemudian
disimpan oleh Hafsah, anak dari Umar dan juga istri dari Nabi Muhammad Saw.
Kemudian pada masa pemerintahan Usman bin Affan koleksi ini menjadi dasar
penulisan teks Al-Qur’an yang dikenal saat ini.
MENGATASI
KESULITAN
Dalam masa
transisi yang sangat kritis ini Abu Bakr dihadapkan pada kesulitan-kesulitan
yang begitu besar sehingga pada saat-saat permulaan itu timbul kekhawatiran
yang dirasakan oleh seluruh umat Muslimin.
Setelah
semua itu dapat diatasi berkat kekuatan imannya, dan untuk waktu berikutnya
Allah telah memberikan sukses dan kemenangan, datang Umar memegang tampuk
pimpinan umat Islam. Ia memimpin mereka dengan berpegang pada keadilan yang
sangat ketat serta memperkuat pemerintahannya sehingga negara-negara lain
tunduk setia kepada kekuasaannya.
Memang,
telah timbul kekhawatiran di kalangan umat melihat kesulitan yang dihadapi Abu
Bakr itu. Sebabnya ialah wilayah Arab yang pada masa Rasulullah Saw. sudah
tuntas kesatuannya, tiba-tiba jadi goncang begitu Rasulullah Saw. wafat. Bahkan
gejala-gejala kegoncangan itu memang sudah mulai mengancam sebelum Rasulullah
Saw. berpulang.
Musailimah
bin Habib di Yamamah mendakwakan diri nabi dan mengirim delegasi kepada Nabi di
Medinah dengan menyatakan bahwa Musailimah juga nabi seperti Muhammad Saw. dan
bahwa “Bumi ini separuh buat kami dan separuh buat Quraisy; tetapi Quraisy
adalah golongan yang tidak suka berlaku adil.” Juga Aswad Ansi di Yaman
mendakwakan diri nabi dan tukang sihir, mengajak orang dengan sembunyi-sembunyi.
Setelah merasa dirinya kuat ia pergi ke daerah selatan lalu mengusir
wakil-wakil Muhammad Saw. lalu terus ke Najran. Ia hendak menyebarkan
pengaruhnya di kawasan ini. Muhammad Saw. mengutus orang kepada wakilnya di
Yaman dengan perintah supaya mengepung Aswad atau membunuhnya. Soalnya karena
orang Arab yang sudah beriman dengan ajaran tauhid dan sudah meninggalkan
penyembahan berhala, tak pernah membayangkan bahwa kesatuan agama mereka telah
disusul oleh kesatuan politik. Malah banyak di antara mereka yang masih rindu
ingin kembali kepada kepercayaan lamanya.
Itu
sebabnya, begitu mereka mendengar Rasulullah Saw. wafat mereka menjadi murtad,
dan banyak di antara kabilah itu yang menyatakan tidak lagi tunduk pada
kekuasaan Medinah. Mereka menganggap membayar zakat itu sama dengan keharusan
pajak. Oleh karena itu mereka menolak.
PEMBERONTAKAN
DAN PERANG RIDDAH
Seperti
jilatan api, cepat sekali pemberontakan itu menjalar ke seluruh jazirah Arab
begitu Rasulullah Saw. wafat. Berita pemberontakan ini sampai juga kepada
penduduk Medinah, kepada mereka yang berada di sekeliling Abu Bakr setelah
mereka membaiatnya. Mereka sangat terkejut. Berselisih pendapat mereka apa yang
harus diperbuat. Satu golongan berpendapat, termasuk Umar bin Khattab, untuk
tidak menindak mereka yang menolak membayar zakat selama mereka tetap mengakui,
bahwa tak ada tuhan selain Allah dan Muhammad Saw. Rasulullah Saw. Dengan
begitu barangkali mereka menghendaki agar tidak banyak musuh yang akan dapat
mengalahkan mereka. Allah tidak memberikan janji kemenangan kepada mereka
seperti yang diberikan kepada Rasulullah Saw. Juga wahyu sudah tidak diturunkan
kepada siapa pun lagi setelah Nabi dan Rasul penutup itu berpulang ke rahmatullah.
Tetapi Abu Bakr tetap bersikeras, mereka yang menolak membayar zakat dan murtad
dari agamanya harus diperangi. Dan itulah Perang Riddah yang telah menelan
waktu setahun lebih.
Perang
Riddah itu tidak hanya melibatkan ratusan orang dari pasukan Khalifah dan
ratusan lagi dari pihak lawan, bahkan di antaranya sampai puluhan ribu dari
masing-masing pihak yang terlibat langsung dalam pertempuran yang cukup sengit
itu. Ratusan, bahkan ribuan di antara kedua belah pihak terbunuh. Pengaruhnya
dalam sejarah Islam cukup menentukan. Andaikata Abu Bakr ketika itu tunduk pada
pihak yang tidak menyetujui perang, sebagai akibatnya niscaya kekacauan akan
lebih meluas ke seluruh kawasan Arab, dan kedaulatan Islam tentu tidak akan
ada. Juga jika pasukan Abu Bakr bukan pihak yang menang dalam perang itu,
niscaya akibatnya akan lebih parah lagi. Jalannya sejarah dunia pun akan sangat
berlainan.
Oleh karena
itu, tidaklah berlebihan ketika orang mengatakan, bahwa dengan posisinya dalam
menghadapi pihak Arab yang murtad disertai kemenangannya dalam menghadapi
mereka itu, Abu Bakr telah mengubah arah sejarah dunia. Tangan Tuhan jugalah
yang telah melahirkan kebudayaan umat manusia itu dalam bentuknya yang baru.
PENGARUH
KEMENANGAN PERANG RIDDAH
Kalau tidak
karena kemenangan Abu Bakr dalam Perang Riddah, penyerbuan ke Irak dan ke Syam
tentu tidak akan dimulai, dan pasukan Muslimin pun tak akan berangkat dengan
kemenangan memasuki kedua imperium besar itu, Rumawi dan Persia, untuk kemudian
digantikan oleh kedaulatan Islam di atas puing itu juga! Kebudayaan Islam telah
menggantikan kedua pola kebudayaan itu. Lagi, kalau tidak karena Perang Riddah,
dengan gugurnya sahabat-sahabat sebagai syahid yang memastikan kemenangan itu,
niscaya tidak akan cepat-cepat Umar menyarankan kepada Abu Bakr agar Qur’an
segera dikumpulkan. Karena pengumpulan inilah pula yang menyebabkan adanya
penyatuan bacaan menurut dialek Mudar pada masa Usman. Dengan demikian, Qur’an
adalah dasar yang kukuh dalam menegakkan kebenaran, merupakan tonggak yang tak
tergoyahkan bagi kebudayaan Islam. Selanjutnya, kalau tidak karena kemenangan
yang diberikan Allah kepada kaum Muslimin dalam Perang Riddah itu,
jangan-jangan Abu Bakr belum dapat menyusun suatu sistem pemerintahan di
Medinah, yang di atas sendi itu pula kemudian Umar menggunakan asas musyawarah.
Polanya keadilan dan kasih sayang, intinya kebajikan dan ketakwaan.
Inilah
peristiwa-peristiwa agung yang telah dapat diselesaikan dalam waktu singkat,
tak sampai dua puluh tujuh bulan. Barangkali karena waktu yang sesingkat itu
pula yang menyebabkan sebagian orang sampai merentang jarak begitu panjang
hingga pada masa Umar, dengan anggapan bahwa jika hanya dalam beberapa bulan
saja tidak akan cukup waktu orang melakukan pekerjaan-pekerjaan besar yang
sampai mengubah jalannya sejarah dunia ini.
Hubungan
kebesarannya sebagai KhaIifah dengan kebesarannyasebagai Sahabat
Bagaimana
Abu Bakr dapat menghadapi segala kesulitan itu pada permulaan ia memegang
pimpinan dan dia tetap bertahan, kemudian dapat mengatasinya? Sesudah itu pula
mulai ia merintis jalan menyebarkan agama dan membuat sebuah kedaulatan
sementara kesulitan-kesulitan itu masih ada? Sudah tentu sifat pribadinya besar
sekali pengaruhnya. Tetapi sifat-sifat itu saja tidak akan sampai ke tingkat
yang sudah dicapainya itu kalau tidak karena persahabatannya dengan Rasulullah
Saw. selama dua puluh tahun penuh itu.
Oleh karena
itu para ahli sejarah sepakat bahwa kebesaran Abu Bakr selama masa menjadi
Khalifah itu erat Sekali hubungannya dengan persahabatannya dengan Rasulullah
Saw. Selama dalam persahabatan itu ia telah menghirup jiwa agama yang dibawa
oleh Muhammad Saw., ia sepenuhnya mengerti maksud dan tujuannya, mengerti
secara naluri, tidak dikacaukan oleh adanya kesalahan atau keraguan. Apa yang
telah dihirupkan dan dipahaminya dengan nalurinya itu ialah bahwa iman adalah
suatu kekuatan yang tak akan dapat dikalahkan oleh siapa pun selama seorang
mukmin dapat menjauhkan diri dari maksud-maksud tertentu selain untuk mencari
kebenaran demi kebenaran semata. Banyak memang orang yang dapat memahami
kebenaran rohani demikian ini pada setiap zaman, tetapi mereka menangkapnya
dengan akal, sedang Abu Bakr menangkap semua itu dengan kalbunya, dengan
matanya Ia melihat bulat-bulat hidup dalam diri Rasulullah Sallallahu ‘alaihi wasallam
dan dalam perbuatannya.
ABU BAKR
MEMIMPIN SALAT
Karena sakit
bertambah berat juga maka Nabi Sallallahu ‘alaihi wasallam meminta Abu Bakr
memimpin sembahyang. Disebutkan bahwa Aisyah pernah mengatakan:
“Setelah
sakit Rasulullah Sallallahu ‘alaihi wasallam semakin berat, Bilal datang
mengajak bersembayang: ‘Suruh Abu Bakr memimpin shalat!’ Kataku: Rasulullah,
Abu Bakr cepat terharu dan mudah menangis. Kalau dia menggantikanmu suaranya
tak akan terdengar. Bagaimana kalau penintahkan kepada Umar saja! Katanya:
‘Suruh Abu Bakr memimpin sembahyang!’ Lalu kataku kepada Hafsah: Beritahukanlah
kepadanya bahwa Abu Bakr orang yang cepat terharu dan kalau dia menggantikanmu
suaranya tak akan terdengar. Bagaimana kalau perintahkan kepada Umar saja! Usul
itu disampaikan oheh Hafsah. Tetapikata Nabi lagi: ‘Kamu seperti
perempuan-perempuan yang di sekeliling Yusuf. Suruhlah Abu Bakr memimpin
sembahyang.’ Kemudian kata Hafsah kepada Aisyah: Usahaku tidak lebih baik dari
yang kaulakukan.”
Sekarang Abu
Bakr bertindak memimpin salat sesuai dengan perintah Nabi. Suatu hari, karena
Abu Bakr tidak ada di tempat ketika oleh Bilal dipanggil hendak bersembahyang,
maka Umar yang diminta mengimami salat. Suara Umar cukup lantang, sehingga
ketika mengucapkan takbir di mesjid terdengar oleh Muhammad Saw. dan rumah
Aisyah, maka katanya:
“Mana Abu
Bakr? Allah dan kaum Muslimin tidak menghendaki yang demikian.”
Dengan itu
orang menduga, bahwa Nabi menghendaki Abu Bakr sebagai penggantinya kelak,
karena memimpin orang-orang salat merupakan tanda pertama untuk menggantikan
kedudukan Rasulullah Saw.
Sementara
masih dalam sakitnya itu suatu hari Muhammad Saw. keluar ke tengah-tengah kaum
Muslimin di mesjid, dan antara lain ia berkata:
“Seorang
hamba oleh Allah disuruh memilih tinggal di dunia ini atau di sisi-Nya, maka ia
memilih berada, di sisi Allah.” Kemudian diam. Abu Bakr segera mengerti, bahwa
yang dimaksud oleh Nabi dirinya. Ia tak dapat menahan air mata dan Ia menangis,
seraya katanya:
“Kami akan
menebus Tuan dengan jiwa kami dan anak-anak kami.”
Setelah itu,
Muhammad Saw. minta semua pintu mesjid ditutup kecuali pintu yang ke tempat Abu
Bakr. Kemudian katanya sambil menunjuk kepada Abu Bakr: “Aku belum tahu ada
orang yang lebih bermurah hati dalam bersahabat dengan aku seperti dia. Kalau
ada dari hamba Allah yang akan kuambil sebagai khalil (teman) maka Abu Bakr-lah
khalil-ku. Tetapi persahabatan dan persaudaraan ini dalam iman, sampai tiba
saatnya Allah mempertemukan kita di sisi-Nya.”
Dari al Hasan
berkata, Abu Bakr ash Shiddiq ra. pernah berkata, “Duhai, andai saja aku adalah
sebuah pohon yang ditebang kemudian di makan.”
Dari Yahya
bahwa Abu Bakr ash Shiddiq radhiyallahu‘anhu berkata dalam khutbahnya,
“Dimanakah orang-orang yang wajahnya elok dan kagum dengan keadaan dirinya?
Dimanakah para raja yang telah membangun kota-kota dan membentenginya dengan
tembok-tembok? Dimanakah orang-orang yang selalu menyumbangkan kemenangan di
medan-medan pertempuran? Sungguh mereka telah dibinasakan oleh masa hingga
mereka berada di dalam kegelapan kubur. Maka bersegeralah, bersegeralah (dalam
beramal). Selamatkanlah, selamatkanlah (diri kalian dari neraka).” [Shifatush
Shafwah I/261]
“Patuhilah
Aku selama Aku patuh kepada Allah Swt dan Rasulullah Saw. bila Aku tidak
mematuhi Allah Swt. dan Rasulullah Saw. maka jangan patuhi Aku lagi.”
“Tidak ada
pembicaraan yang baik, jika tidak diarahkan untuk memperoleh ridha Allah
Swt.”
“Tidak ada
manfaat dari uang jika tidak dibelanjakan di jalan Allah. Tidak ada kebaikan
dalam diri seseorang jika kebodohannya mengalahkan kesabarannya. Dan jika
seseorang tertarik dengan pesona dunianya yang rendah, Allah Swt tidak akan
ridha kepadanya selama dia masih menyimpan hal itu dalam hatinya.”
“Kita
menemukan kedermawanan dalam Taqwa (kesadaran akan Allah), kekayaan dalam Yaqin
(kepastian), dan kemuliaan dalam kerendahan hati.”
“Waspadalah
terhadap kebanggaan, sebab kalian akan kembali ke tanah dan tubuhmu akan
dimakan oleh cacing.”
“Ketika
beliau dipuji oleh orang-orang, beliau akan berdo’a kepada Allah dan berkata,
“Ya Allah, Engkau mengenalku lebih baik dari diriku sendiri, dan Aku lebih
mengenal diriku daripada orang-orang yang memujiku. Jadikanlah Aku lebih baik
daripada yang dipikirkan oleh orang-orang ini mengenai diriku, maafkanlah
dosa-dosaku yang tidak mereka ketahui, dan janganlah jadikan Aku bertanggung
jawab atas apa yang mereka katakan.”
“Jika kalian
mengharapkan berkah Allah, berbuatlah baik terhadap hamba-hamba-Nya.”
“Suatu hari
beliau memanggil Umar ra. dan menasihati nya sampai Umar ra. menangis. Abu Bakr
ra. berkata kepadanya, “Jika engkau memegang nasihatku, engkau akan selamat,
dan nasihatku adalah “Harapkan kematian selalu dan hidup sesuai dengannya””
“Mahasuci
Allah yang tidak memberi hamba-hamba-Nya jalan untuk mendapat pengetahuan
mengenai-Nya kecuali dengan jalan ketidak-berdayaan mereka dan tidak ada
harapan untuk meraih pencapaian itu”
ABU
BAKR ASH-SHIDDIQ WAFAT
Aisyah
ra. berkata, “Permulaan sakitnya Abu Bakr adalah pada saat beliau mandi pada
hari senin pada hari ketujuh dari jumadil akhir, hari itu cuaca sangat dingin,
maka dia sakit selama lima belas hari yang menyebabkan dirinya tidak keluar
untuk shalat berjamaah, banyak para shahabat yang menjenguknya pada saat dia
sakit, dan mereka pernah berkata:
Bolehkah
kami memanggil seorang tabib untuk melihat apa yang engkau derita? Abu Bakr
menjawab: “Dia telah melihatku.” Para sahabat bertanya: “Apa yang dia katakan?”
Dia berkata: “Sesungguhnya semua kehendak -Ku pasti terlaksana seperti apa yang
Aku inginkan.” Aisyah berkata: Pada saat rasa sakit yang menimpa bapakku telah
kritis aku menyenandungkan bait syair di bawah ini:
Sungguh
kekayaan tidak memberikan apapun bagi seseorang
Apabila nafas kematian sudah terdengar dan dada menyempit
Lalu dia membuka wajahnya dan berkata, “Bukan itu wahai anakku akan
Apabila nafas kematian sudah terdengar dan dada menyempit
Lalu dia membuka wajahnya dan berkata, “Bukan itu wahai anakku akan
tetapi
bacalah firman Allah:
Dan
datanglah sakaratulmaut dengan sebenar-benarnya. Itulah yang kamu selalu lari
daripadanya. (QS. Qaaf: 19)
Kemudian dia
berkata, “Lihatlah pada pakaianku ini dan cucilah dia lalu kafanilah aku
dengannya sesungguhnya orang yang masih hidup lebih butuh pada yang baru dari
pada orang yang telah mati, dan dia mewasiatkan agar dikuburkan disamping
kuburan Rasulullah Saw.”
Abu Bakr
meninggal pada tanggal 23 Agustus 634 di Madinah. Lalu setelah dia wafat maka
kepalanya disejajarkan dengan pundak Rasulullah Saw. dan menempelkan lahadnya
dengan kubur Rasulullah Sallallahu ‘alaihi wasallam.
(dari
berbagai sumber)

No comments:
Post a Comment